Selain karena kekayaaan alamnya yang mempesona, wilayah Indonesia Timur juga dikenal dengan sajian kulinernya yang enak-enak dan unik-unik. Salah satunya datang dari Bumi Papua, yakni Sagu Papua, yang selama ini dijadikan makanan pokok sehari-hari oleh warga di sana.
Saya sendiri sudah cukup akrab dengan sagu. Di mata pelajaran SD, sering sekali ada pembahasan mengenai sagu, yang ternyata memiliki banyak sekali manfaat untuk kesehatan. Apalagi, di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kota Palopo juga ada makanan yang berasal dari olahan sagu, yakni Kapurung. Sekilas, tampilan Kapurung memang mirip sekali dengan Papeda, makanan kebanggaan masyarakat Papua.
Ketika info bahwa pembahasan mengenai Sagu Papua ini akan dibukukan, saya tentu saja merasa sangat antusias dan bangga. Adalah Ahmad Arif, sang penulis, juga berprofesi sebagai wartawan harian Kompas, yang meramu formula buku tersebut.
"Sagu Papua untuk Dunia", judul bukunya, merupakan buku pertama dari "Seri Pangan Nusantara", dirilis oleh Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), bekerjasama dengan perusahaan pangan berbasis agribisnis, PT. Austindo Nusantara Jaya, Tbk (ANJ).
Buku ini menjelaskan urgensi Indonesia untuk menjadikan keberagaman pangan sebagai strategi ketahanan pangan nasional. Peluncuran buku "Sagu Papua untuk Dunia" ini berlangsung Senin, 25 November 2019 di Restoran Bueno Nasio, Menara BTPN, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Sekedar informasi, Restoran Bueno Nasio ini spesial menyediakan makanan olahan sagu untuk pengunjungnya, dikelola oleh ANJ.. Ternyata, nama Bueno Nasio sendiri diambil dari bahasa Papua, yang berarti Dapur Enak.
Acara peluncuran buku ini dikemas dalam format talkshow, menampilkan Ahmad Arif dan Naga Waskita (Direktur PT. ANJ) yang membahas sejarah sagu dan urgensi pangan alternatif dari golongan non-beras, tantangan dan peluang dalam bisnis sagu, serta strategi pemerintah untuk menjadikan sagu sebagai komoditas pangan strategis.
"Kenapa kita harus membuang dividen 120 sampai 150 juta dollar tiap tahun untuk membeli berasa dari luar negeri? Persediaan bahan makanan ini harus ditambah.. Tanah kering harus ditanami.. Nilai dan khasiatnya harus sama dibuat sederajat dengan padi, misalnya jagung, jawawut, kedele, kacang tanah, dan lain sebagainya.."
Pernyataan tersebut disampaikan Sang Proklamator dalam pidatonya di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 27 April 1952.
Menurut Ahmad Arif, sang penulis buku "Sagu Papua untuk Dunia", kerentanan pangan Indonesia bisa dikatakan terjadi karena di negara ini potensi sumber pangannya besar, tapi pengetahuan Sumber Daya Manusia untuk mengolahnya masih kurang.
Padahal, Indonesia merupakan negara dengan cadangan sagu terbesar di dunia. Sagu adalah sumber pangan manusia modern (Homo sapiens). Sungguh ironis jika melihat fakta bahwa negara tetangga kita, Malaysia yang kini justru menguasai pasar ekspor sagu dunia.
Mengajak anak makan nachos yang terbuat dari olahan sagu |
Saya sendiri sudah cukup akrab dengan sagu. Di mata pelajaran SD, sering sekali ada pembahasan mengenai sagu, yang ternyata memiliki banyak sekali manfaat untuk kesehatan. Apalagi, di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kota Palopo juga ada makanan yang berasal dari olahan sagu, yakni Kapurung. Sekilas, tampilan Kapurung memang mirip sekali dengan Papeda, makanan kebanggaan masyarakat Papua.
Ketika info bahwa pembahasan mengenai Sagu Papua ini akan dibukukan, saya tentu saja merasa sangat antusias dan bangga. Adalah Ahmad Arif, sang penulis, juga berprofesi sebagai wartawan harian Kompas, yang meramu formula buku tersebut.
"Sagu Papua untuk Dunia", judul bukunya, merupakan buku pertama dari "Seri Pangan Nusantara", dirilis oleh Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), bekerjasama dengan perusahaan pangan berbasis agribisnis, PT. Austindo Nusantara Jaya, Tbk (ANJ).
Buku ini menjelaskan urgensi Indonesia untuk menjadikan keberagaman pangan sebagai strategi ketahanan pangan nasional. Peluncuran buku "Sagu Papua untuk Dunia" ini berlangsung Senin, 25 November 2019 di Restoran Bueno Nasio, Menara BTPN, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Sekedar informasi, Restoran Bueno Nasio ini spesial menyediakan makanan olahan sagu untuk pengunjungnya, dikelola oleh ANJ.. Ternyata, nama Bueno Nasio sendiri diambil dari bahasa Papua, yang berarti Dapur Enak.
Acara peluncuran buku ini dikemas dalam format talkshow, menampilkan Ahmad Arif dan Naga Waskita (Direktur PT. ANJ) yang membahas sejarah sagu dan urgensi pangan alternatif dari golongan non-beras, tantangan dan peluang dalam bisnis sagu, serta strategi pemerintah untuk menjadikan sagu sebagai komoditas pangan strategis.
Kebijakan Pangan Saat Ini Masih Identik dengan Beras
Sejak 1952, Presiden Soekarno sudah mengingatkan, jika pemerintah menitikberatkan kebijakan pada sawah, maka Indonesia akan sulit memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat."Kenapa kita harus membuang dividen 120 sampai 150 juta dollar tiap tahun untuk membeli berasa dari luar negeri? Persediaan bahan makanan ini harus ditambah.. Tanah kering harus ditanami.. Nilai dan khasiatnya harus sama dibuat sederajat dengan padi, misalnya jagung, jawawut, kedele, kacang tanah, dan lain sebagainya.."
Pernyataan tersebut disampaikan Sang Proklamator dalam pidatonya di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 27 April 1952.
Menurut Ahmad Arif, sang penulis buku "Sagu Papua untuk Dunia", kerentanan pangan Indonesia bisa dikatakan terjadi karena di negara ini potensi sumber pangannya besar, tapi pengetahuan Sumber Daya Manusia untuk mengolahnya masih kurang.
Padahal, Indonesia merupakan negara dengan cadangan sagu terbesar di dunia. Sagu adalah sumber pangan manusia modern (Homo sapiens). Sungguh ironis jika melihat fakta bahwa negara tetangga kita, Malaysia yang kini justru menguasai pasar ekspor sagu dunia.
Sudah Saatnya Pemerintah Indonesia Menempuh Kebijakan Pangan yang Berperspektif Nusantara
Sagu adalah makanan pokok asli Papua. Hampir semua dari kita memahami hal tersebut. Sagu telah menyatu dengan peradaban masyarakat Papua selama ribuan tahun.
Sagu memiliki berbagai kelebihan. Kandungan karbohidratnya tinggi, bebas gluten, dan indeks gilkemiknya rendah. Sebagai makanan pokok, sagu sangat cocok untuk dikonsumsi oleh orang berkebutuhan khusus, karena dapat mencegah diabetes hingga kanker.
Terkait perubahan cuaca dan iklim, juga punya kemampuan adaptasi yang baik, serta tahan dalam kondisi ekstrim separti banjir, kekeringan, dan angin kencang.
Sagu memiliki berbagai kelebihan. Kandungan karbohidratnya tinggi, bebas gluten, dan indeks gilkemiknya rendah. Sebagai makanan pokok, sagu sangat cocok untuk dikonsumsi oleh orang berkebutuhan khusus, karena dapat mencegah diabetes hingga kanker.
Namun sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, Sagu di Papua sudah tergantikan dengan beras dan gandum dari luar Papua. Padahal jelas-jelas, pada kenyataannya sagu lebih ramah lingkungan karena dapat menyatu dengan hutan, berbeda dari beras ataupun gandum.
Sebuah fakta yang menyedihkan, ketika tau bahwa di Papua bisa terjadi kasus gizi buruk, sementara hutan sagu di Papua sangat melimpah luasnya.
Dalam kasus inilah, peran perusahaan seperti ANJ sangatlah penting, karena merupakan salah satu perusahaan pangan berbasis agribisnis yang concern terhadap keberagaman pangan.
Oleh karena itu, mengutip kata-kata Ahmad Arif, "Sudah saatnya pemerintah menempuh kebijakan pangan yang berperspektif Nusantara.". Jika hal ini terwujud dengan baik, tanaman lokal seperti sagu yang terbukti mampu beradaptasi dengan iklim dan cuaca setempat, bisa menjadi prioritas utama.
Sebuah fakta yang menyedihkan, ketika tau bahwa di Papua bisa terjadi kasus gizi buruk, sementara hutan sagu di Papua sangat melimpah luasnya.
Dalam kasus inilah, peran perusahaan seperti ANJ sangatlah penting, karena merupakan salah satu perusahaan pangan berbasis agribisnis yang concern terhadap keberagaman pangan.
Oleh karena itu, mengutip kata-kata Ahmad Arif, "Sudah saatnya pemerintah menempuh kebijakan pangan yang berperspektif Nusantara.". Jika hal ini terwujud dengan baik, tanaman lokal seperti sagu yang terbukti mampu beradaptasi dengan iklim dan cuaca setempat, bisa menjadi prioritas utama.